PEMBERIAN OBAT III
A. BERAT DAN KOMPOSISI BADAN
Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang di berikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat di distribusikan. Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna. Seperti pada lansia, karena penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut dalam air tidak dapat didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya meningkat didalam darah.demikian juga dengan adanya peningkatan persentase lemak tubuh secara umum ditemukan pada lansia , membuat kerja obat menjadi lebih lama karena distribusi obat menjadi lebih lambat.
Semakin kecil berat badan klien , semakin besar konsentrasi obat di dalam jaringan tubuhnya, dan efek obat yang di hasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan masa jaringan tubuh dan tinggi badan dan sering kali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada klien yang lebih muda
Obat lebih mudah keluar dari ruang intertisial ke dalam ruang intravascular Pembuluh darah dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasodilatasi, atau vasokintriksi local dan kecepatan aliran darah kesebuah jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat dan badan yang menggigil dapat mengubah sirkulasi local, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat suntikan intramuskoler, maka akan terjadi vasodilatasi yang dapat meningkatkan distribusi obat.
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier darah otak hanya dapat ditembus oleh obat larut dalam lemak yang masuk ke dalam otak dan cairan cerebro spinal. Infeksi system saraf pusat perlu ditangani dengan antibiotika yang langsung di suntikan ke ruang subarakhnoid di medulla spinalis. Membran Plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat. Agen yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas ( kelainan bentuk ), depresi pernafasan dan lainnya.
C.IKATAN PROTEIN.
Derajat kekuatan ikatan obat dengan protein serum, misalnya albumin mempengaruhi distribusi obat. Kebanyakan obat terikat pada protein dalam tingkatan tertentu. Ketika molekul obat terikat pada albumin, obat tidak dapat menghasilkan aktivitas farmakologis, obat yang tidak berikatan atau bebas adalah bentuk aktif obat.
Lansia mengalami penurunan kadar albumin dalam aliran darah, kemungkinan disebabkan oleh perubahan fungsi hati, hal ini juga dapat terjadi pada klien yang mengalami / menderita penyakit hati dan pada klien malnutrisi. Akibatnya lansia dapat berisiko mengalami peningkatan aktivitas obat, toksisitas obat atau ke duanya.
1. Metabolisme
Setelah mencapai tempat kerjanya, obat di metabolisme menjadi bentuk tidak aktif, sehingga lebih mudah di ekskresi. Sebagian besar biotranformasi berlangsung dibawah pengaruh enzim yang mendetoksifikasi, mengurai, ( memecah ) dan melepas zat kimia aktif secara biologis. Kebanyakan biotranformasi berlangsung di dalam hati, walaupun paru-paru, ginjal, darah, dan usus juga memetabolisme obat
Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi dan mengubah banyak zat toksik, hati mengurai banyak zat kimia berbahaya sebelum di distribusi ke jaringan.
Penurunan fungsi hati yang terjadi seiring penuaan, atau karena penyakit hati mempengaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh. Perlambatan metabolisme yang dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam tubuh, akibatnya klien lebih berisiko mengalami toksisitas obat. Apabila organ yang berpartisifasi dalam metabolisme obat mengalami perubahan, klien berisiko mengalami toksisitas obat.
2. EKSKRESI.
Setelah di metabolisme, obat keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, paru dan kelenjar ekskorin.
Struktur kimia sebuah obat menentukan organ yang mengekskresinya. Senyawa gas dan senyawa volatile ( zat yang mudah menguap ) misalnya eter, dinitrogen monoksida, dan alcohol keluar melalui paru. Nafas dalam dan batuk membantu klien pasca operasi mengeliminasi gas anaestesi dengan lebih cepat.
Kelenjar ekskorin mengekskresi obat larut dalam lemak, ketika obat keluar melalui kelenjar keringat, kulit dapat mengalami iritasi, perawat membantu klien menjaga kebersihan personal hygine yang baik untuk menjaga kebersihan dan integritas kulit.
Apabila obat keluar melalui kelenjar mamae, bayi yang di susui dapat mengabsorbsi zat kimia obat tersebut, Ibu yang menyusui harus meneliti keamanan setiap obat. Resiko pada bayi yang menerima obat dan pada bayi yang mendapatkan obat harus di pertimbangkan dengan cermat.
Saluran cerna adalah jalur lain ekskresi obat. Banyak obat masuk kedalam sirkulasi hati untuk di pecah oleh hati dan di ekskrersi ke dalam empedu. Seterlah zat kimia masuk kedalam usus melalui saluran empedu, zat tersebut diabsorpsi kembali oleh usus. Faktor-faktor yang meningkatkan peristaltic, misalnya laksatif dan enema mempercepat ekskresi obat melalui feces, sedangkan faktor-0faktor yang memperlambat peristaltic, misalnya tidak melakukan aktivitas atau diit yang tepat, memperpanjang efek obat.
Ginjal adalah organ utama ekskresi obat, beberapa obat tidak mengalami tidak mengalami metabolisme yang luas dan masuk ,kedalam urine dalam bentuk yang relative sama. Obat lain menjalani biotrsanformasi di hati sebelum di ekskresi oleh ginjal. Apabila fungsi ginjal menurun, yang merupakan perubahan yang umum terjadi dalam penuaan, maka resiko toksisitas obat meningkat. Apabila ginjal tidak dapat mengeluarkan obat secara adekuat, dosis obat mungkin perlu di kurangi, apabila asupan cairan yang normal di pertahankan, obat akan di eliminasi dengan cepat, karena struktur kimia dan kerja fisilologisnya sebuah obat dapat menghasilkan lebih dari satu efek.
Merupakan respon fisiologis obat yang di harapkan atau yang di perkirakan akan timbul. Setiap obat yang di programkan memiliki efek terapeutik yang di inginkan.
Sebuah obat di perkirakan akan menimbulkan efek sekunder yang tidak di inginkan. Efek samping ini mungkin tidak berbahaya atau bahkan menimbulkan cidera. Contoh penggunaan kodein dapat membuat seseorang menjadi konstipati, penggunaan teofilin dapat membuat klien sakit kepala dan pusing, efek samping ini dapat di sebut tidak berbahaya, tetapi jika pada penggunaan obat digoksin dapat mengakibatkan disaritmia jantung yang berakibat kematian. Jika pada pemberiannya dapat menimbulkan efek samping yang serius, hingga menghilangkan efek terapiutik obat maka dokter dapat menghentikan pemberian obat tersebut. Akibat efek samping tersebut, klien sering kali berhenti meminum obatnya tanpa berkonsultasi ke tenaga kesehatan.
5. EFEK TOKSIK
Terjadi setelah klien meminum obat berdosis tinggi dalam jangka waktu lama. Setelah lama menggunakan obat yang di tujukan untuk aplikasi ekternal atau setelah suatu obat berakumulasi di dalam darah akibat kerusakan metabolisme atau ekskresi.
Satu dosis obat dapat menimbulkan efek toksik pada beberapa klien. Jumlah obat yang berlebihan di dalam tubuh dapat menimbulkkan efek yang mematikan, tergantung pada kerja obat. Contoh morfin, sebuah analgesic narkotik, meredaklan nyeri dengan menekan sususnan syaraf pusat. Kadar toksik morfin menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan berakibat pada kematian.
Adalah yang meliputi klien bereaksi berlebihan, tidak bereaksi, atau bereaksi tidak normal terhadap obat, contoh klien yang menerima antihistamim, menjadi sangat gelisah atau sangat gembira, bukan mengantuk. Adalah tidak mungkin memperkirakan klien mana yang akan mengalami reaksi idiosinkratik.
7. REAKSI ALERGI.
Adalah respon lain yang tidak dapat di perkirakan terhadap obat.
Kekebalan tubuh seseorang dapat tersensitisasi terhadap dosis awal obat, jika obat di berikan secara berulang kepada klien, ia akan mengalami respon alergi terhadap obat, zat pengawet obat, atau metabolitnya. Dalam hal ini obat atau zat kimia bekerja sebagai antigen, memicu pelepasan antihistamin.
Alergi obat dapat bersifat ringan atau berat, gejala alergi bervariasi, tergantung pada individu dan obat. Contoh obat biasanya jenis antibiotika.
Reaksi alergi ringan seperti :
a). Urtikaria
Adalah erupsi kuli yang bentuknya tidak beraturan, meninggi, ukuran dan bentuk bervariasi, erupsi memiliki batas berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna pucat.
b). Ruam
Adalah Vesikel kecil dan meninggi, biasanya berwarna merah,. sering kali tersebar di seluruh tubuh.,
c). Pruritus
Adalah gatal-gatal pada kulit, kebanyakan timbul bersama ruam.
d) Rinitis.
Adalah Inflamasi pada lapisan membrane mokusa hidung, menimbulkan bengkak dan pengeluaran rabas / cairan encer dan berair.
Reaksi alergi berat atau reaksi anafilaksis ditandai oleh konstriksi otot bronkiolus, edema faring dan laring, mengi berat dan sesak nafas , klien juga mengalami hipotensi berat sehingga memerlukan resusitasi darurat.
1). Perbedaan Genetik.
Susunan genetic mempengaruhi biotranformasi obat . Pola metabolic dalam keluarga sering kali sama. Faktor genetic menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat . akibatnya anggota keluarga sensitive terhadap suatu obat.
2). Variabel Fisiologis
Perbedaan hormonal antara pria dan weanita mengubag metabolisme obat tertentu. Hormon dan obat saling bersaing dalam biotranformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolic yang sama .
Usia berdampak langsung pada kerja obat. Bayi tidak banyak memiliki enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat normal.
Jika status nutrisi klien buruk, sel tidak dapat berfungsi normal, sehingga biotranformasi tidak berlangsung. Metabolisme obat bergantung pada nutrisi yang adekuat untuk membentuk enzim dan protein.
Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang bertanggung jawab untuk farmakokenitik normal juga merusak kerja obat. Perubahan integritas kulit, penurunan absorpsi atau motilitas saluran cerna, dan kerusakan fungsi ginjal dan hati hanya beberapa kondisi penyakit yang berhubungan dengan kondisi yang mengurangi kemanjuran obat atau membuat klien beresiko mengalami toksisitas obat.
3). Kondisi lingkungan.
Stres fisik dan emosi yang akan memicu respon hormonal yang pada akhirnya mengganggu metabolisme obat pada klien.
Radiasi ion menghasilkan efek yang sama dengan mengubah kecepatan aktivitas enzim.
Pajanan pada panas dan dingin dapat mempengaruhi respon terhadap obat. Pada klien hipertensi diberi obat vasodilator untuk untuk mengontrol tekanan darahnya, Pada cuaca panas dosis vasodilator perlu di kurangi karena suhu yang tinggi meningkatkan efek obat, sedangkan pada cuaca yang dingin cenderung meningkatkan vasokontriksi, sehingga dosis vasodilator perlu ditambah.
4). Faktor Psikologis
Sejumlah faktor psikologis mempengaruhi penggunaan obat dan respon terhadap obat. Sikap seseorang terrhadap obat berakar dari pengalaman sebelumnya atau pengaruh keluarga.
Melihat orang tua sering menggunakan obat=obatan dapat membuat anak menerima obat sebagi bagian dari kehidupan normalnya.
Makna obat atau signifikasi mengkonsumsi obat mempengaruhi respon klien terhadap terapi, sebuah obat
dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi rasa tidak aman., pada situasi ini klien bergantung pada obat sebagai media koping dalam kehidupan.Sebaliknya, jika klien kesal pada obat. kondisi fisik mereka, rasa marah dan sikap bermusuhan dapat menimbulkan reaksi yang di inginkan terhadap- obat. Obat sering kali memberi rasa aman. Penggunaan secara teratur obat tanpa resep atau obat yang di jual bebas misalnya vitamin, laksatif dan aspirin membuat orang merasa dapat mengontrol kesehatannya..
Perilaku perawat pada saat memberikan obat dapat memberikan dampak secara signifikan pada respon klien terhadap pengobatan. Apabila perawat memberikan kesan bahwa obat akan membantu, pengobatan kemungkinan dapat memberikan efek yang positif, sebaliknya jika sikap perawat kurang peduli saat klien merasa tidak nyaman, obat yang diberikan terbukti relatif tidak efektif.
5) Diet.
Interaksi obat dan nutrien dapat mengubah kerja obat atau efek nutrisi, contoh vitamin k ( terkandung dalam sayuran hijau berdaun ) merupakan nutrien yang melawan efek warfarin natrium, mengurangi efeknya pada mekanisme pembekuan darah. Minyak mineral menurunkan absorpsi vitamin larut dalam lemak. Klien membutuhkan nutrien tambahan ketika mengkonsumsi obat yang menurunkan efek nutrisi. Menahan konsumsi nutrien tertentu dapat menjamin efek terapeutik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar